Mahesa Desaga | Foto: Alfan Rahadi |
Dimulai tepat jam 7, film pendek ini menuai banyak respon di dalam diskusinya. Diskusi yang dimoderatori oleh Didit Pras dengan pembicara Agus Fauzi selaku penggiat teater di Malang dan Mahesa sendiri ini menjadi panas. Bahkan saat terlihat beberapa penonton yang terlambat pun, film ini hingga diputar lagi. Sebenarnya apa yang membuat film ini spesial?
Film Train To Heaven atau Kereta surga ini adalah film satir yang bercerita tentang dua orang “ekstrimis” atau khawarij yang pura – puranya sedang naik odong odong atau kereta ke surga. Banyak dialog yang khas ekstrim Islam Kanan yang bisa ditemui disini.
Film Train To Heaven atau Kereta surga ini adalah film satir yang bercerita tentang dua orang “ekstrimis” atau khawarij yang pura – puranya sedang naik odong odong atau kereta ke surga. Banyak dialog yang khas ekstrim Islam Kanan yang bisa ditemui disini.
Selain itu banyak terkuak setelah diskusi berjalan seperti kenapa pilihan dialog tokoh bom jihad dan ekstrimis tentang birahi. Hal ini ternyata diinspirasi oleh interview Amrozi sebelum eksekusi mati bahwa ia hanya menantikan 72 bidadari dan ceramah Ustadz Syam yang secara eksplisit menginterpretasikan bahwa akan pesta seks di surga.
Kemudian tentang hal teknis yaitu perbedaan aspek rasio. Saat adegan obrolan aspek rasio yang dipakai kecil, melambangkan sempitnya fikiran. Kemudian dalam adegan di Surga aspek rasionya luas karena melambangkan luasnya interpretasi surga. Odong odong melambangkan bahwa keyakinan/tafsiran akan suatu agama adalah sebagai kendaraan menuju satu tujuan. Dan tiap tafsiran/keyakinan punya “spec” sendiri dan jangan iri dengan kendaraan orang lain.
Kemudian adegan Nisan bertuliskan Tuhan , menurut Mahesa bagaimana jika para ekstremis hanya ingin masuk surga untuk dapat surga bukan bertemu Tuhan, maka dilambangkan itu. Tidak hanya penanya – penanya namun juga bermunculan komentar seperti Dani dari FISIP menilai bahwa ending nisan adalah sebuah shortcut dari dialektis konsep "God is the director." Menurut Dani “Tuhannya sudah ada nisan tapi filmnya kan masih berjalan berarti Tuhan nya tinggal satu yaitu sutradara” . Berarti konsep ekstremis yang membunuh nama Tuhannya dengan bom jihad sudah gugur karena Tuhan Sutradara masih ada.
Foto: Alfan Rahadi |
Foto: Alfan Rahadi |
Gambaran Patriarkal dan teksual juga menggambarkan tafsiran mereka bahwa agama yang mereka pahami adalah untuk lelaki untuk menguasai dan hal-hal tekstual yang muncul tanpa terjemahan kontekstual juga karena tafsiran agama dari si tokoh juga sangat tekstual dan tidak dalam.
Akhirnya film pun diputar untuk ketiga kali.
Akhirnya film pun diputar untuk ketiga kali.
0 komentar